Selasa, 21 Mei 2013

Berjabat tangan setelah shalat

Tidak diketahui ada seorang shahabat dan satu pun ulama’ salaf Rahimahullah 'Alihim jika seusai shalat, mereka menoleh ke arah kanan dan arah kiri sambil bersalaman dengan orang-orang yang berada di sekitarnya. Seandainya mereka memang melakukan hal itu, pasti kita akan menukil berita tersebut dari mereka sekalipun dengan sanad yang dha’if. Begitu juga dengan para ulama’ yang menyelami lautan ‘ilmu, pasti akan dinukilkan berita itu untuk kita. Jika memang riwayat itu ada, pasti mereka semua akan memunculkan banyak sekali hukum tentang masalah ini. (Tamaam al Kalaam fii Bid’ah al Mushaafahah Ba’d al Salaam hal. 24-25 dan di dalam kitab al Masjiid fii al Islaam hal. 225). 

Al Muhaddits Syaikh Muhammad Nashirudiin Al Albani berkata di dalam al Silsilah al Shahihah (I/23) sebagai berikut: “Adapun berjabat tangan selepas shalat maka dianggap sebagai sesuatu bid’ah. Kecuali bagi kedua orang yang sebelumnya sama sekali belum bertemu, maka dianggap sebagai perbuatan sunnah.” Al Kanawi berkata: “Selain itu para ulama’ bermadzhab Hanafi, Syafi’i dan Maliki menganggap berjabat tangan seusai shalat sebagai perbuatan makruh dan sebagai bid’ah. Dikatakan dalam kitab al Multaqath: “Berjabat tangan seusai shalat merupakan sesuatu yang dimakruhkan dalam kondisi apapun. Karena para shabat tidak pernah berjabat tangan setelah shalat. Selain itu berjabat tangan seusai shalat termasuk kebiasaan yang dikerjakan oleh orang-orang Rafidhah (syi’ah –pen.).” Dari kalangan madzhab Syafi’i, al Hafidz Ibn Hajar al Atsqalani berkata: “Berjabat tangan yang dikerjakan orang seusai shalat lima waktu merupakan hal yang dimakruhkan. Karena perbuatan itu tidak memiliki dasar dalam syari’at Islam.” (al Si’aayah fii al Kasyf ‘ammaa fii Syarh al Wiqaayah hal. 264). 

Sesuatu yang masih diperselisihkan statusnya antara makruh ataukah sunnah, maka dianggap sebagai sesuatu yang tidak boleh dikerjakan. Karena menolak kemudharatan itu lebih diutamakan ketimbang menarik kemaslahatan. Padahal berjabat tangan (seusai shalat) disangka oleh orang-orang jaman sekarang sebagai sesuatu yang terpuji. Bahkan mereka akan mencela orang yang mencegah perbuatan tersebut. 

Mereka tetap saja melakukan hal itu meskipun diingatkan berkali-kali. Padahal mengerjakan sesuatu yang hukumnya sunah secara kontinu bisa mengakibatkan makruh. Bagaimana jika mengerjakan perbuatan bid’ah dan tidak memiliki dasar dalam syari’at secara kontinu? Jika demikian, maka tidak perlu disangsikan lagi bahwa berjabat tangan seusai shalat hukumnya makruh. Inilah tujuan orang yang memfatwakannya sebagai sebuah perbuatan yang dibenci. Padahal sebenarnya hukum makruh ini telah dinukil dari dari para ulama’ pendahulu. 

Syaikh Masyhur bin Hasan Salman berkata: “Yang perlu aku peringatkan bahwa seorang muslim tidak boleh memotong atau menghen-tikan tasbih saudaranya sesama muslim kecuali karena ada sebab syar’i. Pada-hal yang banyak kami saksikan dewasa ini, banyak sekali kaum muslimin yang memutus dzikir-dzikir yang disunahkan dibaca saudaranya setelah shalat dengan cara mengulurkan tangan kepada mereka untuk berjabat tangan. Padahal dengan mengajak mereka berjabat tangan berarti telah memutus hubungan tasbih dan dzikir yang sedang dijalin dengan Allah Ta’aala.
Jika memang seseorang pertama kali berjumpa, maka hendaknya kedua-nya saling berjabat tangan dengan lembut dan penuh kasih. Dengan demi-kian sekarang menjadi jelas mengapa berjabat tangan bisa berubah statusnya menjadi sesuatu yang bid’ah. Berapa banyak orang yang pandai memberikan mau’idzah dan ahli memberikan nasehat, namun dia tetap mengerjakan hal yang melanggar sunah ini. (Tamaam al Kalaam fii Bid’ah al Mushaafahah Ba’d al Salaam hal. 23). 

Wallahu A’lam Bishshawab 

Rujukan:
1.    Quthuf minasy Syamailil Muhammadiyati wal Akhlaqin Nabawiyati wal Adabil Islamiyah (terjemahan) Karya Muhammad bin Jamil Zainu.
2.    Al Qawl al Mubiin fii Akhtaa al Mushalliin (terjemahan) Karya Abu ‘Ubaidah Mashur bin Hasan bin Salman.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar