Tidak
diketahui ada seorang shahabat dan satu pun ulama’ salaf Rahimahullah 'Alihim
jika seusai shalat, mereka menoleh ke arah kanan dan arah kiri
sambil bersalaman dengan orang-orang yang berada di sekitarnya. Seandainya mereka
memang melakukan hal itu, pasti kita akan menukil berita tersebut dari mereka sekalipun dengan sanad yang dha’if.
Begitu juga dengan para ulama’ yang menyelami lautan ‘ilmu, pasti akan
dinukilkan berita itu untuk kita. Jika memang riwayat itu ada, pasti mereka
semua akan memunculkan banyak sekali hukum tentang masalah ini. (Tamaam al Kalaam fii Bid’ah al Mushaafahah Ba’d al
Salaam hal. 24-25 dan di dalam kitab al Masjiid fii al Islaam hal.
225).
Al Muhaddits Syaikh Muhammad Nashirudiin
Al Albani berkata di dalam al Silsilah al Shahihah
(I/23) sebagai berikut: “Adapun berjabat tangan selepas shalat maka dianggap
sebagai sesuatu bid’ah. Kecuali bagi kedua orang yang sebelumnya sama sekali
belum bertemu, maka dianggap sebagai perbuatan sunnah.” Al Kanawi berkata:
“Selain itu para ulama’ bermadzhab Hanafi, Syafi’i dan Maliki menganggap
berjabat tangan seusai shalat sebagai perbuatan makruh dan sebagai bid’ah.
Dikatakan dalam kitab al Multaqath: “Berjabat
tangan seusai shalat merupakan sesuatu yang dimakruhkan dalam kondisi apapun.
Karena para shabat tidak pernah berjabat tangan setelah shalat. Selain itu
berjabat tangan seusai shalat termasuk kebiasaan yang dikerjakan oleh
orang-orang Rafidhah (syi’ah
–pen.).” Dari kalangan madzhab Syafi’i, al Hafidz Ibn Hajar al Atsqalani
berkata: “Berjabat tangan yang dikerjakan orang seusai shalat lima waktu
merupakan hal yang dimakruhkan. Karena perbuatan itu tidak memiliki dasar dalam
syari’at Islam.” (al Si’aayah fii al Kasyf
‘ammaa fii Syarh al Wiqaayah hal. 264).
Sesuatu
yang masih diperselisihkan statusnya antara makruh ataukah sunnah, maka
dianggap sebagai sesuatu yang tidak boleh dikerjakan. Karena menolak
kemudharatan itu lebih diutamakan ketimbang menarik kemaslahatan. Padahal
berjabat tangan (seusai shalat) disangka oleh orang-orang jaman sekarang
sebagai sesuatu yang terpuji. Bahkan mereka akan mencela orang yang mencegah
perbuatan tersebut.
Mereka tetap saja melakukan hal itu meskipun
diingatkan berkali-kali. Padahal mengerjakan sesuatu yang hukumnya sunah secara
kontinu bisa mengakibatkan makruh. Bagaimana jika mengerjakan perbuatan bid’ah
dan tidak memiliki dasar dalam syari’at secara kontinu? Jika demikian, maka
tidak perlu disangsikan lagi bahwa berjabat tangan seusai shalat hukumnya
makruh. Inilah tujuan orang yang memfatwakannya sebagai sebuah perbuatan yang
dibenci. Padahal sebenarnya hukum makruh ini telah dinukil dari dari para
ulama’ pendahulu.
Syaikh
Masyhur bin Hasan Salman berkata: “Yang perlu aku peringatkan bahwa seorang
muslim tidak boleh memotong atau menghen-tikan tasbih saudaranya sesama muslim
kecuali karena ada sebab syar’i. Pada-hal yang banyak kami saksikan dewasa ini,
banyak sekali kaum muslimin yang memutus dzikir-dzikir yang disunahkan dibaca
saudaranya setelah shalat dengan cara mengulurkan tangan kepada mereka untuk
berjabat tangan. Padahal dengan mengajak mereka berjabat tangan berarti telah
memutus hubungan tasbih dan dzikir yang sedang dijalin dengan Allah Ta’aala.
Jika
memang seseorang pertama kali berjumpa, maka hendaknya kedua-nya saling
berjabat tangan dengan lembut dan penuh kasih. Dengan demi-kian sekarang
menjadi jelas mengapa berjabat tangan bisa berubah statusnya menjadi sesuatu
yang bid’ah. Berapa banyak orang yang pandai memberikan mau’idzah dan ahli
memberikan nasehat, namun dia tetap mengerjakan hal yang melanggar sunah ini. (Tamaam al Kalaam fii Bid’ah al Mushaafahah Ba’d al
Salaam hal. 23).
Wallahu A’lam Bishshawab
Rujukan:
1.
Quthuf minasy Syamailil
Muhammadiyati wal Akhlaqin Nabawiyati wal Adabil Islamiyah (terjemahan) Karya
Muhammad bin Jamil Zainu.
2.
Al Qawl
al Mubiin fii Akhtaa al Mushalliin (terjemahan) Karya Abu ‘Ubaidah Mashur bin
Hasan bin Salman.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar